30 Mei 2007

Nemberala, Rote

Setelah menempuh perjalanan 1,5 jam dengan Feri express dilanjutkan dengan perjalanan motor 1 jam, akhirnya kami berempat dapat melihat pintu gerbang desa ‘Selamat Datang di Pantai Wisata Nemberala’.
Ada beberapa hotel dan homestay di sekitar pantai Nemberala dengan tarif mulai puluhan ribu hingga ratusan ribu per malam, tapi akhirnya kami memilih penginapan milik Pak Thomas dengan pertimbangan sedang tidak ada pengunjung dan juga murah.

Desa Wisata Nemberala terletak di tepian pantai termasuk kecamatan Rote Barat Daya. Desa ini berpenduduk lumayan padat dengan bentuk rumah yang sebagian besar sudah berplester dan beratap seng, hanya sebagian yang masih menggunakan bebak dan atap alang-alang. Secara sepintas warga di desa ini termasuk berkecupan jika dibandingkan dengan beberapa desa yang sebelumnya kami lewati, menurut penuturan pak Thomas, kesejahteraan warga di sini ditopang dari komoditi rumput laut yang ditanam di sepanjang pantai Nemberala. Di sepanjang jalan dan juga di sekitar rumah warga terdapat pohon kelapa yang menjulang tinggi dan daunnya saling merapat sehingga meneduhkan sebagian besar desa ini. Di sore hari, beberapa orang yang sebagian besar perempuan paruh baya terlihat menyisir tepian pantai dengan berbekal karung ataupun keranjang yang terbuat dari tali buatan sendiri di pundak. Dengan seksama mereka mencari dan memunguti potongan-potongan rumput laut yang terbawa ombak hingga ke tepian pantai. Jika karung atau keranjang mereka penuh, maka mereka beranjak pulang untuk menjemur rumput laut tersebut.
Suasana yang sama juga terlihat di pantai di pagi hari, bahkan lebih banyak lagi orang yang berada di pantai karena selain para pencari rumput laut juga terdapat orang-orang yang sedang membersihkan atau sekedar memeriksa tanaman rumput laut mereka di pinggiran laut. Suasana ini semakin ramai oleh banyaknya binatang anjing dan babi yang berkeliaran di pantai.
Pantai Nemberala sudah lama dikenal sebagai tempat berselancar bagi turis mancanegara, sebagian besar turis yang datang di sini berasal dari Australia dan menginap rata-rata seminggu hanya untuk bermain gelombang air laut. Biasanya musim padat pengunjung di desa Nemberala adalah mulai pertengahan Juli hingga bulan September. Ombak di sini memang cukup ideal bagi peselancar, karena ombaknya yang cukup panjang dan lumayan tinggi menurut para peselancar memberi kepuasan tersendiri dalam bermain papan selancar. Hal ini ditunjang juga dengan indahnya pantai yang masih tergolong alami dengan rumah-rumah penduduk yang sebagian masih tradisional menambah nilai tersendiri sebagai tempat tujuan wisata pantai. Hanya saja
Akses jalan dari Ba’a menuju desa ini memang sedikit menghambat perjalanan wisatawan. Selain jaraknya yang lumayan jauh juga kondisi jalan yang lebih banyak rusak.
Selama 3 hari 2 malam berlibur di desa Nemberala cukup memuaskan kami berempat. Kami telah mengunjungi beberapa tempat wisata yang semuanya di kawasan pantai. Ada Pantai Boa yang disiapkan khusus untuk festival surfing dengan gelombangnya yang cukup dekat dengan bibir pantai. Kami juga mengunjungi pantai Fimok yang memiliki batu karang yang menyerupai pintu gerbang. Kami juga telah merasakan nikmatnya mandi dan bermain di pantai Nemberala bersama para peselancar asing, bahkan dengan berbekal papan selancar sewaan dari pak Thomas kami mencoba belajar berselancar meskipun tidak pernah bisa berdiri di atas ombak. Sebelum mengakhiri perjalanan di Rote kami sempatkan untuk melihat batu Termanu yang berupa gundukan bukit batu yang menjulang tinggi di tepi laut. Namun sayangnya perjalanan kami diakhiri dengan keterlambatan kapal feri di pelabuhan pantai baru hingga 3 jam.

Tips :
  • Jika ingin membawa motor menggunakan Fery Express, sebaiknya kurangi BBM di tangki motor, karena sebelum naik tanki motor diperiksa dan akan disedot jika terlihat penuh.
  • Cari hotel atau penginapan yang sekaligus menyediakan makanan, karena di Nemberala belum tersedia rumah makan / warung.
  • Jika tidak memakai kendaraan sendiri, sebaiknya menggunakan jasa bemo carter untuk mempercepat waktu tempuh.
  • untuk ketepatan waktu, gunakan Fery Express meskipun harus membayar lebih mahal; 75rb per orang, 100rb untuk motor, sedangkan fery biasa cukup 38 ribu per orang.

29 Mei 2007

Kelimutu



Gunung Kelimutu dapat ditempuh dalam 3-4 jam perjalanan dari kota Maumere. Atau jika kita beranjak dari kota Ende, perjalanan hanya memakan waktu sekitar 2 jam. Namun sebagian besar para turis (khususnya Wisman) lebih banyak berangkat dari kota Maumere karena mereka menghabiskan waktu sebelumnya dengan menikmati beberapa tempat wisata pantai atau diving di sekitar kota Maumere.

Di akhir bulan Desember 2006 lalu aku dapat kesempatan mengunjungi Kelimutu untuk yang kedua kali setelah di awal tahun 2004 aku pertama kali ke sana. Kebetulan saat itu aku yang masih berkantor di sebuah NGO di kota Maumere diajak temanku yang ingin menggunakan kesempatan saat di Maumere untuk melihat danau Kelimutu. Perjalanan dimulai pukul 03.30 dini hari, Sepanjang perjalanan yang berliku-liku melewati bukit dan lembah tidak dapat dinikmati karena hanya gelap di luar serta goncangan mobil Rocky Independent yang dikebut oleh om Moce yang kami rasakan.
Memasuki desa Moni di kaki gunung Kelimutu, keadaan di luar mulai terang, namun justru aku malah merasakan mual akibat mabok perjalanan. Maklumlah, dengan kondisi badan yang kurang fit akibat kurang tidur serta perut yang kosong dan diguncang-guncang di atas mobil mengakibatkan mual yang tidak tertahan. Setelah sempat istirahat sejenak menghilangkan mual, akhirnya perjalanan dilanjutkan. Memasuki gerbang masuk kawasan wisata Moni, kami harus membayar tiket masuk, 4ribu per orang.
Mobil kami terhenti di parkiran terakhir, dan tanpa diaba-aba 5 orang di dalamnya langsung berkemas, Pak Teno, Duma, om Moce, Wayan dan aku sendiri mulai menapaki tangga-tangga setapak menuju ke danau Kelimutu, jam di HP menunjukkan pukul 06 pagi lewat. Ternyata ada seorang laki-laki tua berjaket biru yang tanpa diminta bersedia menemani kami sambil membawa thermos dan seperangkat alat minum yang ditaruh di tas ranselnya. Beliau ini ternyata warga di desa terdekat yang berjarak sekitar 4 Km di bawah tempat parkir mobil terakhir. Pekerjaan sehari-harinya selain menjual minuman hangat buat wisatawan di pagi hari, juga sebagai petani sayur di siang hari.
Udara pagi pegunungan cukup menyemangati kami menaiki setapak demi setapak. Angin yang lumayan kencang menimbulkan suara yang berirama dari pepohonan cemara, ditingkahi dengan kicauan berbagai burung yang bersahutan mampu mengalahkan kelelahan yang kami rasakan. Semakin mendekati puncak danau Kelimutu, semakin kami merasakan suasana magis, alam begitu hening di antara tiupan angin dingin, warna-warni langit dipadu dengan hijaunya hutan yang sebagian masih ditutupi kabut tipis sepertinya membawa suasana yang sulit ditemukan ditempat lain. Meskipun aku sudah pernah mengunjungi tempat ini sebelumnya, namun sepertinya aku baru pertama kali berada di tempat ini. Mungkin karena saat ini tidak ada pengunjung lain yang kami temui selain aku dan keempat temanku, maklum karena kami berkunjung di hari Kamis.


Akibat terlalu sering beristirahat dan menikmati suasana, akhirnya aku menjadi orang paling akhir yang mencapai puncak Kelimutu yang ditandai dengan tugu dan prasasti yang bertuliskan kata-kata tentang riwayat dan nilai-nilai leluhur. Dari puncak ini, terlihat jelas ketiga danau yang airnya berwarna di sekiling kami, juga hamparan hijau bukit yang bergunduk-gunduk tersebar di segala sisinya. Pandangan yang cukup luas ini seakan dibatasi oleh awan yang tersebar di kejauhan. Dari ketiga danau kawah tersebut ternyata 2 di antaranya telah mengalami perubahan warna sejak aku datang pertama kali. Kawah terkecil yang berada di dekat tugu yang dulunya berwarna putih saat ini telah berwarna hitam pekat, kawah yang paling bawah yang dulunya berwarna hitam kini sedikit berubah menjadi agak coklat pekat. Sedangkan danau yang terbesar tetap berwarna hijau permata yang cukup terang.
Setelah puas mengabadikan segala sudut dan menikmati suasana sambil minum kopi dan teh panas dari pak Tua yang menemani, akhirnya kami sepakat turun karena takut pak Teno terlambat pesawat di Maumere. Ternyata benar kata orang bahwa berapa kali pun kita datang ke Kelimutu tetap kita akan merasa suasana magis yang berbeda, satu lagi keajaiban karya Tuhan yang bisa kita nikmati.

25 Mei 2007

Sikka, Landscape





Sikka is one of 16 district in NTT-Indonesia, it's located on eastern of Florest Island. the capital of Sikka district is Maumere, you can reach it by plane (Merpati) from Jakarta, Surabaya, Denpasar, or Kupang (Trans Nusa & Merpati) directly everyday. Sikka has 11 subdistrict dispersed in the mainland and its small islands.

Egon view from Talibura beach

cross road over the hilly land in Bu Watuweti-Paga

Beautiful sunset on Pulau Besar, a view from Wailamung-Talibura


a green view of the road to Mbay in rainy season

a burned grass, 'Tanjung' -Maumere in dry season

cool water river, Gera-Mego















Statue of 'Bunda Maria', Nilo-Nita

















the highland village, Poma-Paga

16 Mei 2007

Kenapa Mesti Bikin blogspot ini?

awalnya sih aku ga pernah mau atau kepingin ngeblog, scara yang sering aku liat blog temen2ku tuh cuma terisi dengan opini-opini pribadi yang informasinya ga ada yang menarik.
paling2 cuma isi pengalaman pribadi, keluh-kesah. . . . kalian pasti lebih paham hal itu.
sampe suatu saat di minggu lalu mas Abi minta aku kunjungi blognya, dan aku baru sempat liat beberapa hari lalu. kebetulan waktu itu aku juga aku lagi demen browsing di indobackpacker.com jadi serba adventure minded lah..
dan kesan pertama waktu liat blog mas Abi adalah ada yang menarik dengan blog itu, aku merasa sedang membuka majalah wisata ala flightnews. dipercantik dengan foto2 . . . aku jadi pengen ikutan ngeblog juga!!

dan hari ini, ga banyak yang bisa aku lakukan di kantorku, jadi . . . . iseng2 juga aku bikin blog ini.
untuk sementara ga banyak yang bisa aku tumpahkan di sini, lack of ideas in my brain due influenza has intruding me.