tulisan ini adalah finalis lomba penulisan di PFPM
Menjadi CTA, Menjadi Fasilitator Masyarakat
Tiga belas November 2003, hari yang bersejarah bagiku. Hari pertama aku masuk dalam dunia pemberdayaan masyarakat dengan bergabung sebagai staf Plan International (Plan), sebuah lembaga non profit internasional yang peduli dan bekerja untuk kepentingan anak-anak. Lembaga ini sudah cukup di kenal di masyarakat, khususnya di wilayah NTT. Aku ditempatkan di Program Unit Sikka dengan posisi awal sebagai CTA (Community Transformation Agent). Di akhir masa orientasi baru aku ketahui ternyata CTA adalah petugas lapangan yang berperan sebagai fasilitator masyarakat dan harus tinggal di tengah masyarakat dampingan. Diilihat dari topografinya, Program Unit Sikka merupakan program unit yang memiliki wilayah dampingan terberat dibandingkan program unit lain di Indonesia.
Masyarakat asli di Kabupaten Sikka terdiri dari tiga suku etnis besar yakni Sikka, Lio, dan TanaAi. Plan bekerja di wilayah yang dihuni oleh suku Lio dan TanaAi, dua suku yang oleh kebanyakan masyarakat di Kabupaten Sikka dianggap lebih tertinggal dibandingkan dengan suku Sikka yang memang banyak tinggal di Kota Maumere sebagai ibukota Kabupaten Sikka. Suku Lio menempati wilayah bagian barat Kabupaten Sikka yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Ende. Sedangkan suku TanaAi menempati wilayah timur yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Flores Timur.
Sebuah Dunia Baru Yang Membuatku Merasa Terasing
Setelah melalui masa orientasi, aku ditempatkan di tiga desa yang berada di wilayah Lio yakni Desa Renggarasi, Desa Bu Watuweti, dan Desa Loke. Desa Renggarasi sebagian wilayahnya berada di bagian lembah sehingga dapat dijangkau dengan motor sebagai kendaraan utamaku. Sedangkan Desa Loke dan Desa Bu Watuweti seluruh wilayahnya berada di atas perbukitan, sehingga untuk menjangkau perkampungannya harus ditempuh berjam-jam dengan jalan kaki mendaki bukit melalui jalan setapak.
Aku merasa seperti orang asing yang kebingungan saat pertama kali turun ke desa dampingan sendirian. Sebelumnya aku tidak pernah mengenal dunia LSM dan pemberdayaan masyarakat. Aku juga selalu tidak percaya diri saat harus berbicara di depan orang banyak, apalagi dengan penampilan fisik yang jawa asli terlihat berbeda dengan orang kebanyakan di desa dampinganku.
Pembekalan semasa orientasi terasa belum cukup untuk menghadapi masyarakat dengan berbagai atribut sosialnya yang sangat jauh berbeda dari latar belakang sosialku. Hal pertama yang aku lakukan ketika pertama kali bertugas di desa dampinganku adalah menemui dua orang penting yang ada di masyarakat sekaligus mengantarkan surat penugasan. Kedua tokoh tersebut adalah kepala desa sebagai pemimpin pemerintahan desa, serta pastor paroki sebagai pemimpin keagamaan tingkat paroki yang wilayah pelayanannya meliputi beberapa desa. Kesan pertama ketika menemui para kepala desa hampir sama dengan kesan yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya yang aku temui sewaktu orientasi lapangan, mereka menunjukkan rasa hormat yang kurang tulus dan dipaksakan, rasa hormat yang diberikan karena aku adalah tamu dari luar. Kesan yang lebih kuat adalah perasaan skeptis dan apriori terhadap lembaga kami. Aku bisa memahami hal itu karena selama 4 tahun keberadaan Plan di wilayah ini hampir tidak ada tanda-tanda kedekatan antara lembaga dan masyarakat. Hal ini mungkin karena ketiadaan staf lapangan (CTA) sebelumnya, melainkan Plan bekerja melalui mitra-mitranya yakni sejumlah LSM lokal. Bersyukur akhirnya setelah mendengar penjelasan panjang lebar mengenai perubahan pendekatan Plan dengan menempatkan CTA sebagai fasilitator di desa, akhirnya para kepala desa bisa memahami dan menyambut antusias keberadaanku di desanya sebagai CTA. Bahkan mereka selalu menawarkan rumahnya sebagai tempat menginap.
Paroki yang melayani umat Katholik di wilayah desa dampinganku adalah Paroki Wolofeo yang terletak di pusat desa Renggarasi. Berbeda dengan para kepala desa, Rm. Arnold yang memimpin Paroki Wolofeo memberikan sikap yang cukup ramah dan terbuka saat pertama aku menemui beliau. Aku diterima dengan penuh kehangatan tanpa memandang perbedaan agama dan asal usul. Alasan yang aku tangkap dari penejalasan Rm. Arnold adalah bahwa aku dianggap sebagai sesama pelayan masyarakat hanya dengan bidang yang berbeda dengan beliau. Rm. Arnold juga berharap besar terhadap perubahan pendekatan dari Plan akan dapat memfasilitasi perubahan di masyarakat menjadi lebih baik. Sikap dan penerimaan dari pihak paroki ini menjadi semacam doping bagi semangatku yang sudah terlanjur turun sejak awal dalam menghadapi berbagai tantangan pekerjaan sebagai seorang CTA.
Langkah selanjutnya yang aku lakukan adalah mulai mensosialisasikan diri dan lembaga serta perubahannya kepada warga desa. Pintu masuk yang aku gunakan adalah mendekati kepala dusun atau ketua RW. Aku tidak membuat pertemuan-pertemuan khusus melainkan hanya melakukan pertemuan informal di beberapa rumah yang biasanya dihadiri oleh warga sekitar rumah tersebut. Pada beberapa pertemuan awal warga masih menunjukkan sikap apriori meskipun aku sudah menjelaskan panjang lebar tentang apa itu CTA dan peranannya sebagai bentuk perubahan pendekatan dari lembagaku. Melihat kondisi demikian maka pada pertemuan berikutnya aku mulai dengan lebih banyak mendengar keluhan-keluhan mereka baik keluhan tentang lembaga maupun keluhan tentang kemiskinan mereka. Dari keluhan tersebut kemudian aku selalu menyampaikan bahwa jika warga di sini mau berkelompok tani maka saya akan memfasilitasi bantuan karitatif dari lembaga sebagai jawabannya. Pernyataan ‘janji’ tersebut sebenarnya beresiko dan agak tabu menurut panduan yang diberikan oleh para seniorku saat orientasi sebelumnya, namun aku tidak punya cara lain untuk meyakinkan warga tentang keberadaanku di desa tersebut.
Aku merasa termotivasi untuk terus mensosialisasikan diri dan lembagaku kepada semua warga terutama pada keluarga dampingan. Meskipun terkadang semangat itu nyaris pupus ketika harus mendaki dan menuruni bukit untuk dapat mencapai satu perkampungan. Terdapat beberapa kampung yang harus ditempuh dalam waktu dua hari dari kota Maumere, karena setelah menempuh perjalanan motor aku harus mendaki bukit mencapai pusat desa dan beristirahat semalam di kampung besar sebagai pusat desa, baru keesokan harinya melanjutkan pendakian ke kampung yang dituju.
Berita keberadaanku sepertinya begitu cepat menyebar, mungkin dari perbincangan-perbincangan warga saat Pasar Lambalena yang diadakaan setiap hari Selasa di desa Renggarasi. Setiap kedatanganku selalu disambut dengan hangat dan antusias. Aku sering merasa kelelahan ketika harus melayani obrolan dengan warga saat aku berada di suatu kampung yang baru aku datangi. Dan ketika aku menanyakan lokasi salah satu kampung lain, selalu saja ada orang yang mengajukan diri mengantarkanku dengan sukarela. Situasi yang sangat berbeda dengan yang aku temui saat pertama turun ke desa saat orientasi. Hal tersebut yang memotivasi diriku untuk terus melanjutkan pekerjaan sebagai CTA.
Sebenarnya aku mulai merasa khawatir saat melihat antusiasme warga terhadap kedatanganku, karena antusiasme tersebut sebenarnya hanyalah ekspresi dari tuntutan mereka terhadap bukti keberadaan dan perubahan lembaga seperti yang sudah aku sampaikan sebelumnya. Di lain pihak aku sadar bahwa untuk memenuhi tuntutan mereka dan membuktikan ‘janji’ku tersebut tidaklah mudah, mengingat rumitnya prosedur untuk penyaluran program, apalagi yang bersifat karitatif. Hal demikian berarti banyak yang harus dipersiapkan menyangkut kapasitas warga untuk dapat memenuhi tuntutan prosedur tersebut. Namun ada hal lain yang menguatkanku yakni komitmen dari pimpinanku untuk bisa segera spending program dan hal ini berarti para CTA harus dapat segera memfasilitasi usulan dari kelompok-kelompok secepatnya agar bisa segera diproses di kantor.
Live-in Sebagai Metode Pendekatan dan Penilaian
Seperti halnya yang dituntut oleh pimpinanku agar semua CTA harus live-in di desa dampingannya sebagai bagian dari immersion (pembauran), akhirnya aku pun terpaksa melakukan live-in atau tinggal dan bermalam di desa. Aku memilih Paroki Wolofeo sebagai base camp utama setelah mendapat respon yang cukup bagus dari Rm. Arnold di dalam Paroki. Sedangkan jika aku harus bermalam di BuWatuweti atau di Loke, aku memilih bermalam di rumah Kepala Desa.
Aku merasa melihat kehidupan di dunia lain ketika menyaksikan kehidupan warga di desa dampinganku, terutama jika aku berada di desa BuWatuweti atau di Loke yang lebih terpencil dan berada di ketinggian bukit. Berbagai perasaan sering campur aduk dalam benakku. Terkadang aku merasa sangat bangga telah berada di tempat itu dan merasakan kehidupan yang lain, namun kadang juga aku merasa prihatin dan kasihan dengan warga yang ada di sini. Bahkan terkadang aku juga merasa kasihan dengan diriku sendiri, karena harus meninggalkan sejenak segala fasilitas dan kemudahan hidup ala perkotaan. Yang pasti jika kedua orangtuaku melihat kehidupanku di desa tersebut, pasti mereka akan segera menyuruhku pulang ke kampung halaman di Mojokerto. Sebenarnya aku tidak pernah bisa live-in selama empat hari empat malam dalam seminggu seperti yang diminta oleh pimpinanku. Aku paling lama hanya live-in tiga malam dalam seminggu, dan yang paling sering adalah hanya dua malam saja dalam seminggu, dan terkadang aku harus melakukan perjalanan dari kota Maumere ke desa dampingan dua kali dalam seminggu.
Awalnya aku agak kesulitan saat harus menyesuaikan diri dengan rutinitas kehidupan masyarakat di desa dampingan. sebagai seorang muslim aku sedikit risih ketika melihat anjing dan babi yang sering mengeliliku ketika berkunjung ke rumah warga, sementara aku juga tetap berusaha menjalankan ritual keagamaanku termasuk sholat meskipun itu hanya bisa dilakukan jika ada kesempatan. Selain itu aku juga harus menyesuaikan selera makan dan juga intensitas makanku harus berkurang. Sebagian besar keluarga dampingan hanya sekali makan nasi yakni pada malam hari itu pun dengan lauk pauk yang sangat minimalis (hanya ada satu jenis lauk saja atau hanya satu jenis sayur saja), sedangkan pagi hari hanya makan ubi, jagung atau pisang bakar, dan di siang hari juga makan ubi tapi di ladang. Namun jika berada di paroki, aku selalu disiapkan sarapan pagi dan makan malam seperti halnya yang disajikan pada para pastor di paroki. Seringkali aku makan siang di rumah warga yang aku kunjungi. Biasanya keluarga di desa dampingaku akan segera memasak nasi untuk disantap bersama jika aku bertamu agak lama, hal ini biasa dilakukan hanya untuk menghormati seorang tamu. “Tahan sebentar pak, di dapur sudah menyiapkan sajian” kata-kata itu yang sering diucapkan untuk menahanku saat akan pamit. Dan hal seperti ini yang kemudian membuatku berusaha menghindari bertamu lama-lama hingga jam makan siang, karena aku melihat sebenarnya warga sering kekurangan persediaan beras untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari karena semua warga di desa dampinganku adalah petani ladang (kebun), dan tidak ada sawah kecuali padi ladang di musim hujan.
Seiring seringnya aku live-in di desa akhirnya aku bisa lebih tahu banyak hal tentang kondisi dan situasi di desa. Lebih dari sekedar yang sering dijelaskan warga kepadaku, ternyata tidak semua yang dikeluhkan warga tentang alam dan kehidupan mereka benar 100%, sebagian yang diceritakan warga hanyalah hiperbola atau bahkan mengada-ada. Meski demikian ada hal-hal lain yang menarik yang tidak dijelaskan oleh warga dapat aku saksikan langsung, seperti bagaimana warga menyiasati kemiringan tanah ladang mereka yang ada di tebing bukit, atau bagaimana sistem perekonomian rumah tangga mereka yang hanya mengandalkan hasil penjualan kemiri atau kakao, sedangkan begitu banyak tanah ladang berpotensi tanam dibiarkan tidur. Aku juga melihat ternyata beban kerja perempuan jauh lebih besar dari beban kerja laki-laki, selain harus menyiapkan urusan domestik rumah tangga, seorang ibu juga harus ikut bekerja di ladang seperti halnya suaminya, aku bisa melihat bias gender yang sebenarnya. Semuanya aku catat dalam buku catatan dan juga dalam otakku untuk dijadikan pertimbangan dalam menyusun program nantinya.
Membentuk dan Menghidupkan Kelompok
Selama hampir dua bulan bertugas, hampir semua kampung-kampung besar di 3 desa sudah aku datangi untuk sekedar bersosialisasi sambil melakukan penilaian awal (initial assesment). Langkah selanjutnya yang aku lakukan adalah mulai mengajak warga menghidupkan kelompok-kelompok tani yang pernah ada. Kelompok tani yang penah ada adalah kelompok yang dulu dibentuk oleh bebrapa LSM yang pernah bekerja di desa tersebut, beberapa tahun sebelumnya, bahkan beberapa kelompok telah terbentuk mulai tahun 1980an sejak adanya bantuan alat-alat pertanian dan program terasiring dari sebuah LSM. Sedangkan untuk kampung yang belum pernah ada kelompoknya aku mengajak membentuk kelompok baru.
Ternyata mengajak berkelompok tani hanya dengan menjelaskan kegunaan kelompok tani secara teoritis seperti membuka kembali rasa frustasi sebagian masyarakat, hanya sebagian kecil saja yang memahami dan bersedia membentuk kelompok. Sebagian besar warga justru menanggapi dingin dan menyampaikan keluhan-keluhan yang bersifat negatif tentang berkelompok tani. Kondisi ini cepat aku sadari dan aku tidak lagi berceramah untuk menjelaskan pentingnya kelompok tani. Aku mendekati tokoh-tokoh yang cukup vokal yang biasanya berusia 30-40 tahun. Melalui orang-orang tersebut aku menjelaskan secara lebih baik kenapa mereka perlu berkelompok tani, juga bahwa kantorku ingin menyalurkan bantuan tapi harus melalui kelompok tani. Aku juga selalu menggambarkan keberhasilan kelompok-kelompok tani di kabupaten lain, dan dengan sedikit memuji pentingnya keberadaan mereka di masyarkat sebagai ‘orang pintar’, akhirnya aku meminta mereka mau menjelaskan sekaligus membujuk warga untuk ikut menghidupkan kembali kelompok tani. Cara tersebut ternyata cukup efektif, tidak perlu menunggu lama ternyata orang-orang vokal yang lebih suka aku sebut ‘kader’ tersebut bergerak dengan cara masing-masing. Ternyata kader-kader itu bisa menjelaskan dan memahamkan pada warga secara lebih baik tentang pentingnya berkelompok tani dan rencana kerjasama antara kelompok tani dengan lembagaku dalam implementasi program bantuan.
Di luar dugaanku, setelah para kader bergerilya di tengah musim hujan Januari, akhirnya warga desa menjadi antusias untuk kembali membentuk kelompok tani dan ikut menjadi anggota atau bahkan menjadi pengurus kelompok tani. Namun aku melihat hal tersebut dikarenakan adanya tendensi akan mendapat bantuan dari Plan. Aku menyadari dari awal bahwa membentuk atau menghidupkan kelompok tani secara instan seperti yang telah aku lakukan bukanlah langkah yang tepat dan tidak ada unsur pemberdayaan yang positif, namun sekali lagi aku tidak punya cara lain untuk memenuhi tuntutan lembaga dan juga tuntutan masyarakat. Lembaga selalu memintaku untuk segera spending, sedangkan masyarakat menuntut untuk segera mendapat bantuan.
Dalam setiap pertemuan dengan kelompok tani, aku selalu menekankan bahwa kelompok tani bukan dibentuk untuk mendapatkan bantuan, melainkan untuk menghidupkan kegiatan-kegiatan sosial petani dan juga untuk saling belajar sambil berorganisasi dan memberdayakan diri. Aku juga menekankan pentingnya partisipasi dan berdiskusi untuk memutuskan segala sesuatu, dan untuk itu aku sengaja meminta bukti tanda tangan dalam setiap pertemuan yang menyangkut hubungan kelompok tani dengan Plan. Aku memang langsung menjelaskan prosedur yang diminta oleh kantorku untuk menyalurkan bantuan melalui kelompok tani, salah satunya adalah partisipasi yang dibuktikan dengan tanda tangan peserta. Dan untuk mengajukan usulan bantuan, diperlukan beberapa tahapan, mulai dari pertemuan-pertemuan awal hingga need assesment yang seharusnya mengikuti langkah-langkah PRA (participatory Rural Appraisal) hingga bermuara pada satu proposal yang partisipatif. Dan untuk mempermudah prosedur tersebut, aku memodifikasi teknik PRA menjadi lebih singkat dan mudah agar diterapkan dengan mudah dan cepat pada kelompok-kelompok tani. Dengan teknik tersebut aku memfasilitasi kelompok tani untuk berdiskusi melihat masalah dan mengidentifikasi kebutuhan disesuaikan dengan potensi yang ada. Biasanya aku mengajak satu atau dua orang kader dari kelompok lain ikut berproses selama diskusi, kemudian aku meminta kader tersebut memfasilitasi proses yang sama di kelompoknya tanpa kehadiranku. Dari hasil diskusi-diskusi tersebut biasanya direkam dalam bentuk tulisan yang carut marut di HVS yang aku sediakan. Biasanya sesampai di kantor aku menertawakan sendiri catatan-catatan dari pengurus kelompok yang menurutku lebih mirip dengan catatan anak SD, baik bentuk tulisan maupun struktur bahasanya. Meskipun demikian catatan-catatan itu kemudian menjadi sangat bernilai setelah terkumpul menjadi satu dokumen proposal kucel yang aku masukkan ke kantor, dan ternyata kantorku tidak mempersoalkan kekacauan catatan tersebut atau kadang malah kertas proposal yang ditulis tangan itu ternoda dengan lumpur atau arang.
Dari hasil diskusi-diskusi kelompok tani serta catatan assesment yang aku buat, aku menilai bahwa untuk memberdayakan ekonomi warga, perlu menciptakan suatu wilayah sentra komoditi perkebunan yang memiliki potensi pasar. Hal ini selain untuk menyiasati keterbatasan akses pasar juga untuk mengoptimalkan potensi yang ada. Dan untuk mewujudkannya diperlukan langkah-langkah strategis dan perlu adanya perubahan perilaku dari masyarakat itu sendiri.
Dari beberapa pertemuan kelompok yang telah aku ikuti, hampir semua kelompok menyepakati untuk membudidayakan tanaman vanili. Warga tergiur dengan nilai jual vanili yang sedang meroket hingga Rp.200 ribu per kilo pada saat itu. Aku sempat berkonsultasi dengan seorang ahli pertanian perkebunan yang aku temui ketika mengunjungi Renggarasi, menurutnya wilayah di desa dampinganku sangat ideal untuk budidaya vanili. Tanpa berpikir panjang aku langsung menyetujui semua usulan kelompok dampinganku itu. Idealnya memang perlu mempersiapkan SDM terlebih dahulu sebelum menyediakan bibit komoditi dan sarana prasarananya. Namun pada akhirnya aku berkompromi ketika semua kelompok tani mengajukan proposal pengadaan bibit vanili sebagai langkah awal dengan asumsi bahwa hampir di setiap kelompok telah ada anggota maupun pengurus yang menguasai teknik budidaya vanili baik yang didapat dari pelatihan yang pernah diadakan oleh instansi lain, maupun dari pengalaman membudayakan sendiri, dan segera akan dilakukan pelatihan-pelatihan kecil di masing-masing kelompok. Meskipun aku sempat khawatir dengan hampir berakhirnya musim hujan yang sangat berpengaruh pada masa-masa awal program vanilisasi tersebut.
Akhirnya Dana Kelompok Cair
Salah satu persyaratan penting yang harus dimiliki kelompok untuk bisa mengelola dana dari Plan adalah rekening bank, dan untuk membuka rekening bank harus dilakukan oleh dua orang pengurusnya yakni ketua dan bendaharanya. Sementara itu hampir semua warga di desa belum pernah berhubungan dengan bank, apalagi membuka rekening bank. Beberapa orang yang berperan sebagai ketua kelompok bahkan tidak bisa membaca dan menulis. Untuk mengatasi ini aku terpaksa menjelaskan terlebih dahulu apa dan bagaimana cara membuka rekening, dan akhirnya aku harus mendampingi kelompok saat membuka rekening bank.
Pertengahan bulan Maret 2004 tiba waktunya pencairan dana oleh kelompok, suasana di desa menjadi lebih ramai. Pertemuan-pertemuan kelompok selalu dilakukan di setiap kampung yang aku kunjungi. Aku cukup senang melihat kondisi seperti itu, ternyata kelompok-kelompok sudah tahu apa yang harus dilakukan. Hampir semua pengurus ternyata cenderung patuh pada panduan yang aku berikan, mereka mendiskusikan peran dan langkah-langkah selanjutnya kepada semua anggota sebelum menggunakan dana.
Dari beberapa pertemuan yang aku ikuti, ada tiga kelompok yang sempat menyampaikan tawaran untuk memberiku insentif berupa ‘uang terima kasih’, namun aku tolak dengan menjelaskan bahwa dana bantuan itu harus digunakan sesuai dengan yang diusulkan, sedangkan di proposal tidak ada pos ‘uang terima kasih’ itu, dan juga aku jelaskan bahwa tawaran seperti itu akan membuat saya diberhentikan dari Plan dan nantinya kelompok yang bersangkutan tidak akan dipercayai lagi oleh kantor saya. Dalam hati aku menjadi miris melihat kejadian seperti itu, dengan jumlah bantuan yang kecil, kok mereka yang masih kekurangan itu masih ada pemikiran menyisihkan buat aku, dan betapa hinanya profesiku jika aku menerima ‘uang terima kasih’ yang bukan hakku itu.
Saat berkunjung ke kampung-kampung untuk monitoring kemajuan program vanili yang dijalankan serentak oleh kelompok-kelompok dampinganku, aku sering mendengar ungkapan-ungkapan terima kasih dari warga atas realisasi bantuan dari Plan. Masing-masing kelompok selalu menceritakan bagaimana mereka memperlakukan bibit vanili yang telah diterima dan sering mengajakku melihat ke lahan mereka. Aku biasanya hanya memuj-muji dan terus memberikan semangat ketika dimintai pendapat tentang tanaman vanili di ladang mereka, karena sebenarnya aku tidak mengerti apa-apa tentang pertanian apalagi tentang tanaman vanili. Aku justru sering menanyakan ini dan itu untuk mempelajari berbagai hal tentang pertanian khususnya tentang vanili. Melihat antusiasme dan semangat warga ini membuat aku jadi kagum sekaligus bangga, ternyata dengan bantuan yang nilainya cukup kecil jika dihitung per keluarga ini mampu mengubah persepsi terhadap lembagaku selama beberapa tahun.
Dari 27 kelompok yang aku dampingi, terdapat dua kelompok yang bermasalah. Satu kelompok dari Desa BuWatuweti dan satunya dari Desa Loke. Kedua kelompok ini memiliki masalah yang berbeda, jika yang di BuWatuweti terdapat anggota yang tidak pernah hadir saat pertemuan diperlakukan beda dengan anggota yang aktif, maka yang di Loke dikarenakan adanya dugaan korupsi oleh ketuanya. Aku memang terlambat mengetahui masalah yang ada di dua kelompok tersebut karena kedua kelompok tersebut termasuk yang tidak sempat aku monitor langsung dari awal. Jika kelompok yang di BuWatuweti dikarenakan lokasi kampungnya yang cukup jauh di atas bukit, maka kelompok yang di Loke dikarenakan aku megenal baik kapasitas ketuanya yang termasuk orang terpelajar dan dianggap ‘orang pintar’ sekaligus sebagai aparat penting di kantor desa. Aku tidak intensif mendampingi kelompok yang dipimpin ‘orang pintar’ ini karena aku menganggap si ketua tersebut cukup bisa dipercaya.
Untuk kasus kelompok di BuWatuweti dapat segera aku tangani dengan mudah setelah aku fasilitasi pertemuan kelompok. Sedangkan untuk masalah kelompok di Loke ternyata telah menciptakan situasi yang mengarah pada konflik sosial. Semua warga yang menjadi anggota kelompok tersebut memboikot kegiatan-kegiatan dari Plan dan mengucilkan keluarga si ketua kelompok. Hal ini menimbulkan kemarahan dari warga kampung lain. Aku mulai merasa cemas dan bersalah karena terlambat untuk menemui warga anggota guna penyelesaian masalah ini. Dan ketika aku mendatangi kampung tersebut, ternyata si ketua yang diduga menyelewengkan dana kelompok telah pergi meninggalkan kampungnya. Beruntung akhirnya ada pertemuan warga di kantor desa yang dihadiri para tokoh adat setempat yang kemudian membicarakan penyelesaian masalah tersebut sehingga warga tidak lagi melakukan boikot namun dengan satu syarat agar ketua kelompok harus diganti. Perlakuan anggota dengan ‘mengucilkan sementara’ dianggap cukup menghukum si ketua. Dari pertemuan tersebut aku menyadari bahwa ternyata peran sistem sosial cukup efektif dalam penyelesaian konflik di desa, di lain pihak aku juga merasa rendah dan malu karena dianggap tidak bisa menyelesaikan masalah di kelompok ini.
Perubahan Itu Mulai Nampak, Meskipun Kecil
“Ternyata mudah saja membuat laporan keuangan”, demikian kata seorang pengurus kelompok di BuWatuweti setelah selesai aku ajarkan cara membuat laporan keuangan kelompok, pengurus itu hanyalah seorang lulusan SD. Aku hanya bisa tersenyum bangga menanggapinya sambil mengatakan nanti nilai bantuan dari Plan yang bisa dikelola kelompoknya akan lebih besar. Selain bangga dengan kemampuan para pengurus yang menurutku sudah termasuk peningkatan kapasitas warga dampingan seperti yang diharapkan lembaga, aku juga senang melihat pertemuan-pertemuan kelompok yang sering diadakan meskipun tanpa keberadaanku. Pertemuan-pertemuan ini biasanya dilakukan menyangkut gotong royong pembersihan kebun, atau sekedar membahas masalah sehari-hari. Memang tidak semua kelompok yang aku dampingi melakukan itu, namun perubahan-perubahan kecil ini menurutku cukup progresif. Apalagi sering kali warga mendatangiku di saat aku melintas di Pasar Lambalena hanya sekedar untuk menjelaskan bahwa minggu ini mereka telah mengadakan pertemuan kelompok di rumah salah satu anggotanya. Partisipasi dan diskusi sepertinya telah menjadi suatu yang biasa dilakukan oleh warga, terutama warga yang di kelompoknya terdapat kader-kader yang aku andalkan. Bahkan terdapat kelompok yang telah mencoba mempraktekkan sendiri teknik analisa kebutuhan seperti yang pernah aku ajarkan sebelumnya, meskipun hasilnya masih jauh dari sempurna.
Seiring dengan akan jatuh temponya jadwal update data keluarga dampingan yang harus dilakukan setiap tahun di bulan Juli, aku mulai membagi peran dengan kelompok-kelompok tani. Mereka bersedia untuk membantuku mengambil data-data yang diperlukan di setiap keluarga dampingan. Sebenarnya cara seperti ini dilarang oleh kantorku karena seharusnya dilakukan sendiri oleh CTA, namun aku telah menganalisa beban kerja dan juga waktu penyelesaia yang tidak mungkin aku lakukan sendiri mengingat banyaknya jumlah keluarga dampingan dengan sebaran lokasi yang cukup berat, hal yang tidak masuk akal dan mengherankan bagiku kenapa lembagaku mengharuskan CTA melakukannya sendiri. Ternyata warga yang tergabung dalam kelompok cukup senang membantuku sehingga aku terpaksa membuat mekanisme jadwal pengambilan data sekaligus foto keluarga yang akhirnya disepakati bersama oleh semua kelompok.
Kelompok Tani Saja Belumlah Cukup
Di kantor selain bertanggungjawab terhadap tiga desa dampinganku, aku juga diberi tanggungjawab dalam mengkoordinir Program Adituka di tingkat program unit, sebuah program yang dikhususkan bagi tumbuh kembang anak di usia emas. Dan sebagai CTA aku juga bertanggungjawab untuk implementasi semua program di desa dampingan, program-program tersebut hampir menyentuh semua aspek kehidupan warga dampingan. Temanku yang juga seorang CTA mengatakan, “CTA itu mengurusi semua aktifitas keluarga dampingan mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur, mulai makanan, kesehatan, pendidikan, hingga mimpi-mimpi keluarga pun diurus”. Aku senang saja dengan tugas CTA yang bertanggungjawab dalam implementasi berbagai program itu. Paling tidak aku bisa belajar banyak hal meskipun cuma sedikit melalui berbagai pelatihan dan juga pegalaman yang diberikan oleh lembaga.
Bekaitan dengan tugas diseminasi pesan-pesan program tersebut, di desa dampingan aku mulai mengidentifikasi berbagai potensi yang bisa aku gunakan sebagai media implementasi program-program lembaga. Menurutku menggunakan kelompok tani saja belumlah cukup. Setelah sering berdiskusi dengan pastor di Paroki Wolofeo, aku memutuskan menggunakan Mudika Paroki Wolofeo sebagai pihak yang akan aku ajak bekerjasama. Mudika adalah kelompok muda-mudi Katholik yang dibina oleh pastor paroki. Aku melihat kelompok mudika (muda-mudi Katholik) ini cukup potensial karena mereka adalah orang-orang yang relatif enerjik dan terpelajar, selain itu mereka adalah calon kepala keluarga pengambil keputusan.
Dengan bantuan pastor paroki aku berhasil mendekati para mudika yang kemudian bersama mereka dan pastor paroki mengadakan suatu kegiatan lokalatih di tingkat paroki. Lokalatih dengan materi hak asasi manusia, hak anak, dan kesetaraan gender ini aku buat sedemikian rupa sehingga kelak pesertanya harus meneruskan materi lokalatih kepada masing-masing komunitas basis (satuan warga untuk kegiatan Katholik). Aku menyerahkan kepada pastor paroki untuk mengkoordinir kegiatan sekaligus memastikan kegiatan paska lokalatih tersebut bisa berjalan. Ternyata cara ini cukup berhasil, dengan dikoordinir pastor paroki, para mudika akhirnya bersedia bergerilya membuat kegiatan pengumpulan massa untuk menyampaikan materi lokalatih kepada komunitas basis. Dalam beberapa kunjungan ke kampung, aku sempat melihat beberapa kelompok mudika sedang berpidato dan bersimulasi menyampaikan pesan-pesan hak anak dan juga gender di depan semua warga. Sesi yang paling menarik adalah ketika dibuka dialog di akhir acara, yang paling sering dimunculkan dan diprotes orang-orang dewasa adalah pesan kesetaraan gender. Biasanya dialog ini berlangsung cukup lama dengan menggunakan Bahasa Lio yang tidak aku mengerti. Aku hanya geli saat melihat mudika mempertahankan argumentasinya di depan orang-orang tua yang biasanya mereka hormati.
Ternyata efek domino kegiatan mudika tersebut melebihi ekspektasiku, pembicaraan mengenai hak anak dan terutama tentang kesetaraan gender banyak dilakukan di mana-mana. Aku melihat pembicaraan itu di sekolah, di pertemuan kelompok, hingga di Pasar Lambalena, meskipun biasanya pembicaraan itu biasanya disertai tertawaan atau gurauan saja. Paling tidak aku telah melihat adanya keberhasilan dalam diseminasi pesan program.
Selain bekerjasama dengan mudika, aku juga menjalin kerjasama dengan guru-guru di empat sekolah dasar yang ada di desa dampinganku. Sebenarnya terdapat enam SD yang ada di wilayah dampinganku, namun aku hanya bisa intensif bekerjasama dengan empat sekolah, sedangkan dua lainnya jarang aku kunjungi karena lokasi yang jauh dan juga jumlah murid yang sedikit. Beberapa kegiatan program telah dilaksanakan atas kerjasama yang baik dengan para guru dan kepala sekolah di empat sekolah tersebut. Aku memang belum bisa benar-benar membaur dengan anak-anak, meskipun hal itu merupakan sesuatu yang mandatory dari lembagaku. Semua kegiatan-kegaiatan program yang dilaksanakan di sekolah meskipun ditujukan bagi anak-anak, namun masih dikendalikan oleh para guru (driven by adult). Aku sudah berusaha selalu mengakrabkan diri dengan anak-anak melalui berbagai kegiatan program yang selalu melibatkan anak, namun aku merasa belum cukup menyatu dan diakrabi oleh anak-anak, mungkin karena aku tidak bisa bermain secara luwes dengan mereka. Aku biasanya dibantu oleh teman CTA lain saat harus memfasilitasi kegiatan anak seperti saat melaksanakan School Quality Index, sebuah kegiatan diskusi terfokus untuk menganalisa situasi sekolah guna menyusun rencana pengembangan sekolah. Aku senang bisa belajar bagaimana seharusnya memfasilitasi anak-anak. Meskipun begitu ada beberapa anak di satu SD yang cukup akrab denganku, anak-anak itu yang biasanya membantuku untuk memobilisasi teman-temannya untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan yang aku adakan baik di sekolah maupun di kampung.
Ternyata Kader itu Penting
Berbagai fenomena yang aku lihat di desa dampingan semakin mempertegas benang merah di otakku tentang siapa sebenarnya yang harus menjadi pelaku utama dalam perubahan di masyarakat. Aku melihat semakin jelas bahwa pelaku sebenarnya bukanlah seorang CTA, melainkan warga masyarakat sendiri yang dimotori oleh orang-orang tertentu yakni para kader. Melihat pentingnya peranan kader, aku pun sedikit mempertegas perubahan pola pendekatanku. Aku tidak lagi selalu keliling dari kampung ke kampung untuk memfasilitasi pertemuan-pertemuan atau sekedar menyampaikan sesuatu kepada warga, aku lebih banyak menemui orang-orang yang aku anggap potensial sebagai kader. Aku lebih banyak berdiskusi tentang program-program yang bisa dijalankan di desa bersama kader-kader sambil terus memberikan pengarahan sebagai bentuk capacity building bagi mereka. Hal ini tentunya membawa dampak lain pada hubunganku dengan warga pada umumnya. Aku semakin jarang bersosialisasi ke kampung-kampung. Aku hanya mengunjungi suatu kampung jika ada sesuatu yang harus aku sampaikan sendiri. Hal ini aku lakukan bukan hanya sekedar untuk mendelegasikan peran kepada kader, melainkan juga karena semakin banyaknya aktifitas Program Adituka di tingkat program unit yang menyita waktu dan tenagaku.
Karena terlalu mengandalkan kader yang ada, aku sempat kelimpungan ketika kehilangan seorang kader perempuan yang menikah dan keluar dari desa untuk mengikuti suaminya. Biasanya aku selalu berdiskusi dan mendapatkan informasi tentang kampungnya dari kader ini. Celakanya aku hanya mengandalkan dia sendiri untuk kampung tersebut sehingga ketika dia meninggalkan kampung terpaksa aku harus memulai dari awal lagi untuk membuat mekanisme pengkaderan.
Sedikit Yang Aku Beri, Banyak Dampaknya
Melihat beberapa perubahan dari warga membuatku senang dan sedikit merasa bangga dengan peranku sebagai seorang CTA. Meskipun nilai nominal spending programku tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan CTA lain, namun ternyata dapat membawa beberapa perubahan terutama persepsi warga terhadap peran dan juga lembagaku. Sebenarnya aku tidak begitu memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi pada warga dampingan hingga suatu hari di bulan Juli pimpinanku memintaku mengajak seorang CTA dari program unit Jakarta yang baru saja mengajukan diri pindah ke Sikka. Ketika aku mengajak teman baru ini ke desaku dan langsung live-in selama dua malam, dia kagum dengan penerimaan warga terhadap lembagaku, serta bagaimana warga bersemangat dengan kegiatan kelompok tani. Aku hanya mengatakan ini semua mungkin karena sedikit bibit vanili yang telah mereka terima. Pada saat itu juga aku tergerak untuk melihat kembali catatan-catatan analisa situasi yang aku buat saat pertama turun ke desa dampingan, dan ternyata memang telah ada beberapa perubahan terutama pada persepsi dan keterbukaan warga pada lembagaku. Pada akhirnya teman inilah yang kemudian menggantikan aku di desa Loke dan Renggarasi.
Masyarakat mulai terbuka, kelompok-kelompok tani pun mulai terbiasa berurusan dengan dunia luar, pengurus mulai bisa melakukan pembukuan kelompok, dan beberapa pemahaman tentang hak anak dan juga kesetaraan gender mulai dikenal meskipun belum sampai pada penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Jika dikaitkan pada teori perubahan perilaku, apa yang terjadi di masyarakat dampinganku barulah pada tahap-tahap awal dengan tingkatan yang berbeda. Untuk partisipasi dan diskusi aku melihat sudah sampai pada tahap penerapan menuju pembiasaan, sedangkan untuk implementasi hak anak dan kesetaraan gender barulah pada tahap awal yakni pada penyerapan informasi menuju pemahaman. Untuk mencapai tahap perubahan perilaku seperti yang diharapkan oleh lembagaku perlu waktu yang masih lama dan harus disertai pendampingan yang berkesinambungan.
Berganti Desa Dampingan
Mengawali bulan Agustus 2004, seiring dengan penambahan tenaga CTA, aku dipindah ke desa Wailamung dan Lewomada yang sebelumnya ditangani oleh teman CTA lain. Kedua desa ini berada di pesisir pantai dan banyak dihuni oleh warga suku TanaAi. Perpindahan ini sebenarnya sesuai dengan permintaanku pada pimpinan. Karena selain aku semakin disibukkan dengan kegiatan Program Adituka, aku juga merasa mulai kelelahan karena harus naik turun bukit di wilayah Lio. Dengan penempatan di desa pesisir, aku berpikir tidak perlu selalu live-in di desa dan juga aku lebih mudah menyesuaikan kehidupan beragama sebagai seorang muslim.
Meskipun demikian aku juga merasa berat untuk meninggalkan warga dampingan di tiga desa lama, aku merasa telah memiliki ikatan emosi dengan warga dampinganku tersebut. Bahkan aku terpaksa menyembunyikan rencana kepindahanku hingga saat kunjungan terakhir bersama CTA penggantiku. Dan saat itu aku mendengar ungkapan keberatan dari hampir semua warga yang aku temui.
“Wah, bagaimana ini pak, tidak bisa begini pak” “Pak Toni tidak boleh pindah sekarang, tunggu beberapa bulan lagi, urusan kita belum selesai” demikian kata-kata Pak Wese yang aku ingat, beliau adalah seorang kader yang juga kepala dusun di Lambalena. Aku hanya menjelaskan bahwa aku harus lebih banyak pulang pergi ke kantor karena sekarang mengurusi Program Adituka. “Pak Untung ini yang akan menggantikan saya, dia sudah lama jadi CTA di Jawa sehingga bisa lebih baik mendampingi warga di sini” demikian aku memperkenalkan temanku sekaligus untuk memperkuat argumen kepindahanku.
Ketika masuk pertama kali ke desa Lewomada yang berjarak 80 Km dari kantor, aku langsung menemui kepala desa dan kepala dusun. Namun karena melihat pengaruh kepala dusun lebih kuat, aku memutuskan lebih mendekati kepala dusun tersebut. Sebelumnya aku telah melakukan koordinasi dengan CTA yang sebelumnya mendampingi desa ini. Aku memastikan siapa-siapa saja stakeholder yang potensial diajak kerjasama, program-program carry over, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pekerjaan CTA. Berkat pendekatan dengan kepala dusun tersebut, akhirnya aku bisa mendekati warga lain tanpa hambatan. Penerimaan warga terhadap keberadaanku aku rasa biasa-biasa saja, tidak ada kesan penolakan namun tidak juga ada kesan antusias. Hanya beberapa orang yang sudah tergolong kader dari CTA sebelumnya yang akrab dan bersemangat mengobrol denganku.
Warga di desa Wailamung dan juga Lewomada tergolong lebih berkecukupan secara ekonomi dibandingkan dengan warga di Renggarasi, Loke, maupun BuWatuweti. Penghasilan mereka terhitung lebih tinggi karena adanya tanaman jambu mete yang dibudidayakan sejak lama. Meskipun kedua desa ini terletak di pesisir pantai, namun hanya ada dua kampung yang mengandalkan laut sebagai mata pencaharian, dan kedua kampung ini dihuni oleh warga suku Bajo.
Aku memilih melakukan perjalanan pulang pergi untuk mengunjungi desa yang biasanya aku lakukan seminggu dua kali. Dengan cara ini maka secara otomatis intensitas waktu dan kualitas hubunganku dengan warga di dua desa baruku menjadi berkurang. Meskipun hanya ada satu dusun yang tidak bisa dijangkau dengan motor karena berada di atas bukit, namun aku juga tidak begitu sering mengunjungi kampung-kampung yang ada di sepanjang jalan di tepi pantai ini. Biasanya aku hanya mendatangi orang-orang tertentu yang aku anggap potensial sebagai kader untuk membantuku dalam implementasi program dan juga komunikasi dengan lembagaku. Pendek kata, aku hanya intensif berkomunikasi dan bekerjasama dengan beberapa orang kader, itu pun tidak di setiap kampung ada, melainkan hanya ada beberapa di satu dusun.
Sulitnya Memfasilitasi Implementasi Program
Karena tidak diawali dengan immersion yang intensif serta tidak live-in, aku mengalami kesulitan ketika harus merancang kegiatan bersama warga untuk implementasi program di desaku. Aku tidak menemukan kelompok-kelompok yang hidup, yang ada hanya beberapa kelompok yang telah dibina CTA sebelumnya untuk implementasi program peternakan kecil dan juga kerajinan kain tenun. Aku mencoba menemui beberapa pengurus kelompok tersebut dan meminta melakukan pertemuan dengan anggotanya, namun selalu gagal karena berbagai hal yang sebagian besar karena kurangnya motivasi berkelompok itu sendiri. Akhirnya dengan sedikit putus asa aku mencoba mendekati warga suku Bajo di kampung Tanadewa di desa Lewomada. Ternyata kehadiranku disambut lebih antusias di sini. Akhirnya dengan meneruskan kelompok lama yang telah dibentuk oleh pendahuluku aku mengadakan beberapa kali pertemuan dan berhasil memfasilitasi penilaian kebutuhan (need assesment) secara partisipatif yang kemudian dilanjutkan menjadi sebuah proposal program budidaya rumput laut oleh dua kelompok.
Berbekal pengetahuan sedikit tentang potensi rumput laut dari warga suku Bajo tersebut, aku akhirnya menawarkan program yang sama kepada warga lain yang tinggal di sepanjang pantai di desa Wailamung. Beberapa warga setuju dengan tawaran programku meskipun mereka bukanlah nelayan asli. Untuk lebih melancarkan rencana ini, aku bekerjasama dengan kepala desa Wailamung yang cukup disegani oleh warganya. Ternyata berkat bantuan kepala desa ini aku berhasil mengumpulkan warga dalam jumlah besar dan menjelaskan rencana program yang aku tawarkan. Aku tidak menggunakan tahapan-tahapan penilaian kebutuhan partisipatif dalam rencana ini, aku memilih jalur cepat dengan langsung menawarkan rancangan program. Aku mencoba menawarkan alternatif mata pencaharian dengan menggunakan ilustrasi perhitungan untung rugi dan juga analisa ekonomi rumah tangga. Dari pertemuan pertama itu, diusulkan untuk diadakan pelatihan dan pendampingan dari pihak yang berkompeten yakni Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sikka.
Akhirnya aku bersama bapak kepala desa pergi ke Dinas Perikanan dan Kelautan untuk menjelaskan rencana program sekalgus meminta bantuan pelatih dan pendamping. Meskipun pada awalnya disambut kurang baik, namun akhirnya pihak dinas mengirimkan stafnya untuk menjadi pelatih sekaligus pendamping dalam kegiatan budidaya rumput laut. Kerjasama dengan Dinas Perikanan ini hanya sebatas pada tenaga pelatih dan pendampingan, sedangkan untuk yang lain aku serahkan pada kelompok untuk dikelola secara mandiri. Peranku hampir tidak ada selain hanya memfasilitasi proposal kelompok hingga pencairan dana. Sedangkan pada saat pelatihan dan pendampingan lapangan oleh staf Dinas Perikanan aku justru disibukkan dengan kegiatan Program Adituka. Padahal pendampingan yang dilakukan oleh staf dinas tersebut hanya terbatas pada teknis budidaya rumput laut, sementara pendampingan sosial mestinya aku yang berperan.
Satu Keberhasilan Diantara Sekian Yang Gagal
Satu bulan setelah rumput laut mulai dibudidayakan, aku mulai turun monitoring ke kelompok kelompok yang ada di Wailamung. Aku mulai melihat tanda-tanda kegagalan. Skema program yang telah disepakati ternyata tidak berjalan dengan baik. Warga yang bukan nelayan asli ternyata tidak bisa berlama-lama di laut karena tidak bisa meninggalkan rutinitas mereka di kebun mete. Hanya sedikit saja yang terlihat intensif merawat bibit rumput lautnya dan menunjukkan keberhasilan. Hasil temuanku kemudian aku sampaikan pada pertemuan bulanan pertama, dan beberapa warga secara terus terang menyampaikan bahwa mereka tidak bisa bekerja di laut. Hal ini membuat aku seperti orang kalah perang sebelum pertempuran usai. Aku tidak menyalahkan warga atas kegagalan ini, aku melihat kegagalan ini sebagai kesalahanku sendiri yang menawarkan rencana kegiatan tanpa melibatkan warga secara nyata.
Tanda-tanda kegagalan kelompok di Wailamung ternyata tidak terlihat pada kelompok yang ada di Kampung Kabal dan Tanadewa yang memang terdiri dari para nelayan. Di Tanadewa justru menunjukkan kemajuan yang sangat pesat. Ketika banyak rumput laut warga di Wailamung yang tidak berkembang, kelompok di Tanadewa justru sudah melakukan panen, dan hasil panen tersebut telah disemaikan lagi sehingga ketika aku turun monitoring sudah terlihat hamparan luas petak-petak rumput laut memenuhi pantai. Warga anggota kelompok di Tanadewa ternyata berkomitmen untuk menjadikan rumput laut sebagai mata pencaharian utama menggantikan penangkapan ikan. Hal positif lain yang aku lihat adalah warga di Tanadewa tidak ada lagi yang berminat menggunakan bom ikan, melainkan semua telah serius mengurusi rumput lautnya. Selain itu sedikit demi sedikit warga bisa menggeser lahan rumput laut yang sebelumnya dikuasai oleh seorang pemilik modal dari kota Maumere.
Selain program rumput laut, aku juga bekerjasama dengan beberapa kelompok di dua desa ini dalam program lain. Program lain tersebut berupa pembangunan sumur sehat, pembangunan taman posyandu dan juga beberapa kegiatan di sekolah termasuk rehabilitasi sebuah SD. Semua kegiatan tersebut dikelola secara mandiri oleh kelompok yang aku dampingi dengan dana bantuan dari lembagaku. Selain itu aku juga intensif melakukan monitoring kegiatan yang dikerjasamakan dengan instansi pemerintah seperti program kemitraan bidan dan dukun bayi, serta pelaksanaan kegiatan Adituka yang juga menjadi tanggung jawabku di tingkat program unit.
Sebuah Pembelajaran Penting
Setelah hampir satu tahun berada di desa Wailamung dan Lewomada, aku merasa belum juga bisa membaur dengan warga di sini. Aku hanya bisa akrab dan berkomunikasi dengan baik terbatas pada orang-orang tertentu. Memang banyak yang berbeda antara warga di sini yang termasuk suku TanaAi dengan warga di desa lamaku yang termasuk suku Lio. Bukan perbedaan suku yang membuat mereka berbeda, namun keterbukaan wilayah yang paling mempengaruhi cara pandang mereka terhadap orang luar. Orang-orang di desa lamaku cenderung tertutup dengan orang dari luar yang belum dikenal, namun mereka cukup ramah dan sangat menghormati tamu dari luar, sebuah anomali memang. Hal ini karena akses transportasi dan komunikasi di desa mereka sangat terbatas karena letak geografis dan topografi alamnya . Sedangkan warga di desa Wailamun dan Lewomada yang berada di pesisir dengan ketersediaan sarana transportasi yang lancar membuat mereka lebih terbuka dengan orang luar, namun mereka cenderung cuek dan tidak lagi memberikan rasa hormat yang berlebihan terhadap tamu. Jika di Lio aku selalu kenyang dengan kopi atau makanan yang disajikan di setiap rumah yang aku singgahi, hal sebaliknya saat aku bertugas di TanAi ini sangat jarang ditawari minuman. Terlepas dari semua hal tersebut, pola pendekatanku terhadap mereka adalah faktor yang paling dominan dalam keberhasilan dan kegagalanku dalam menjalankan program dan komunikasi di desa dampingan.
Ternyata keberhasilan dan kegagalan di desa lama tidak cepat aku jadikan pembelajaran. Secara umum aku merasa lebih berhasil mendampingi warga di tiga desa lama meskipun kondisi awal warga serta topografi wilayahnya jauh lebih berat dibandingkan dengan dua desa dampinganku yang baru.
Bulan Juni 2005 aku melepaskan posisi sebagai CTA karena dipromosikan sebagai R&D Coordinator. Dengan demikian aku tidak lagi intensif di lapangan untuk mendampingi dan memfasilitasi masyarakat. Aku lebih banyak berkutat dengan kegiatan-kegiatan di tingkat program unit terutama pada aspek monitoring program secara menyeluruh. Namun pengalaman yang aku dapat selama berada di tengah masyarakat maupun pemberdayaan diri melalui pelatihan-pelatihan yang diberikan lembaga merupakan pembelajaran paling berharga yang pernah aku dapat hingga saat ini. Pembelajaran itu melebihi dari apa yang aku pelajari selama 4,5 tahun di bangku kuliah. Karena ternyata dinamika di masyarakat merupakan sumber pembelajaran yang tidak pernah habis untuk dieksplorasi. Dan pada akhirnya apa yang aku alami saat mendampingi dan memfasilitasi masyarakat itu kemudian sangat berpengaruh dalam kehidupan dan juga karirku hingga saat ini.
Ditulis oleh :
Ahmad Fathoni
Desember 2007
1 komentar:
Sebuah perjuangan yang panjang dan sangat luar biasa sekali dalam mengemban tugas dan tanggung jawab. Walapun berat namun dijalankan dengan tulus ikhlas akan dapat hasilnya yang luar biasa pula. Sukses buat Anda !!!
Posting Komentar