24 Oktober 2010

Aku, Bagian dari Generasi Pemusnah (catatan dari masa kecil di desa)

Kenangan Masa Kecil

  Bersyukur aku lahir dan dibesarkan di sebuah desa yang masih memberikan berbagai kenikmatan dari alamnya. Desaku berada di Kec. Mojosari yang masuk wilayah Kab. Mojokerto. Dari sini terlihat jelas deretan pegunungan Welirang di sebelah selatan yang dulu sering aku imajinasikan sebagai sesosok raksasa yang sedang tidur membentang dengan kepala di sebelah timur dan kaki di sebelah barat. Sementara sosok gunung Penanggungan yang mirip tumpeng bertutup daun pisang berada tak jauh di bawahnya. Di masa kecilku, sebagian besar masyarakat di desa beraktifitas sebagai petani, namun kemudian sebagian lain beralih bekerja di industri rumahan sebagai pembuat genting. Masyarakat hidup berdampingan secara akrab dengan alam.
  Masih dapat kuingat kehidupan saat aku dan teman-teman sebaya masih di sekolah dasar. Setiap pagi, kalau bukan dibangunkan oleh ibu, aku selalu terjaga oleh kicauan berbagai jenis burung yang ada di pohon2 belakang rumah. Dan jika hari menjelang petang, lengkingan ribuan burung manyar terdengar bersahutan menciptakan semarak di sore hari, mereka bersarang di deretan rumpun bambu di sepanjang bibir curah (jurang sungai) yang berada tak jauh dari rumahku. Jika musim padi telah tiba, kami anak2 merasa senang sekali saat disuruh orang tua untuk menjaga sawah dari serbuan burung emprit (pipit). Saat itu kami mengenal ada 2 jenis emprit, yakni emprit biasa yang berkepala hitam dan emprit kaji yang berkepala putih mirip topi haji. pemilik sawah biasanya telah menyiapkan gubuk di tengah pematang sawah. Dari gubuk ini kami menggerakkan ondok2 (orang2an sawah) dengan cara menarik-narik tali yang juga dihiasi plastik2 sehingga terlihat seperti orang yang melambai-lambai guna mengusir kawanan emprit yang hendak hinggap di tanaman padi. Kawanan burung emprit ini bisa berjumlah puluhan hingga ratusan ekor, sehingga sekali hinggap bisa memakan buliran padi hingga habis dari batangnya. Kami tak pernah tahu dari mana burung itu datang dan bagaimana mereka bisa berkumpul sedemikian banyak karena kami jarang sekali menemui sarangnya. Justru sarang burung prenjak lah yang sering dijumpai menggantung di antara batang2 tanaman padi yang masih muda atau di batang2 tanaman kedelai. Namun karena burung prenjak bukanlah jenis yang diminati anak2, sehingga tak pernah kami pedulikan keberadaannya waktu itu.
  Alam menjadi tempat sekaligus media bermain utama bagi anak2 di masa itu. Bermain bagi anak2 kala itu hampir selalu dilakukan dalam bentuk permainan sosial (permainan berkelompok) dan selalu menggunakan media alam sekitar, baik sebagai alat, tema, maupun tempat. Jalan-jalan menjelajah sawah dan tegalan adalah salah satu aktivitas bermain yang menyenangkan di kala libur sekolah. Pohon-pohon dan binatang terasa akrab. Beberapa jenis burung dengan mudah dijumpai di pohon-pohon yang tumbuh liar.
  Burung Jambul (Kutilang) dan Trucuk biasa dijumpai bersarang di pohon mangga atau di pohon kamboja yang ada di pemakaman desa. Kedua jenis burung ini cukup diminati waktu itu, selain karena mudah ditangkap dan dipelihara, kedua burung yang memiliki kemiripan bentuk tersebut memiliki kicauan yang bagus. Jambul dan Trucuk sering pula hinggap mencari makan buah keres di sekitar rumah penduduk. Pohon keres ini juga menjadi tempat favorit untuk mencari makan ulat daun bagi burung Cipret yang berukuran kecil serta burung Srapon yang memiliki warna-warni cerah di bagian kepala dan dadanya. Sementara burung Cendet sering terlihat bertengger sambil bersolek membersihkan sayapnya di ranting2 pohon turi selepas mencari serangga dan hewan2 kecil di pematang sawah. Di kala musim hujan tiba, kami biasa beramai-ramai menangkap Gemek (burung puyuh) di antara tanaman kacang dan jagung yang ada di tegalan. Burung ini mudah ditangkap dengan tangan di kala hujan turun karena burung ini termasuk burung tanah yang tak bisa terbang jauh. Berbagai jenis burung yang lain juga mudah ditemui di desa kami waktu itu. Derkuku (tekukur) yang mirip merpati dengan garis hitam mirip kalung di lehernya banyak bersarang di pohon2 randu (kapuk) yang tinggi. Burung Sikatan yang terbang lincah meliuk-liuk rendah untuk menangkap serangga terbang seakan menjadi pemandangan sehari-hari di belakang rumahku. Sedangkan burung Kuntul yang jangkung dan berleher panjang serta burung Belkok yang berukuran lebih pendek seolah menjadi sahabat akrab Pak Naip tetanggaku yang spesialis pembajak sawah menggunakan sapinya. Kedua burung ini selalu berkerumun di belakang Pak Naip dan sapinya untuk mencari hewan2 kecil yang keluar dari tanah setelah dibajak atau diratakan, bahkan kadang kuntul2 itu bisa hinggap dan berdiri di punggung sapi atau kerbau dengan cueknya. Waktu itu, tak ada orang yang mau menangkap burung2 ini karena dianggap dagingnya tidak enak dimakan. Di kala ada Elang terbang di atas, biasanya terdapat dua ekor Srigunting yang terbang di atasnya dan mematuk-matuk Elang guna mengusirnya menjauh dari wilayahnya sarangnya. Rombongan burung besar yang kami sebut Cangak-cangak Ulo yang berleher panjang kadang terlihat terbang bermigrasi dalam jumlah ribuan di ketinggian, orang tua di desaku mengatakan keberadaan burung ini sebagai pertanda bergantinya musim. Bahkan sewaktu masih kelas 3 SD, aku masih sempat melihat kelompok burung Jalak Uret saat aku jalan2 ke daerah waung, sebuah bendungan di batas desa lain sekitar 2 Km arah barat desa kami. Namun beberapa tahun kemudian burung yang memiliki bulu hitam di bagian atas dan putih di bagian leher bawah hingga perut ini sudah tak pernah nampak lagi di tempat itu.
  Selain berbagai jenis burung tersebut, komponen alam yang akrab dan menjadi bagian dalam keseharian anak-anak di masa itu adalah sungai-sungai dan kehidupan yang ada di dalamnya. Di masa itu, sungai dan parit2 airnya jernih di musim kemarau, sehingga ikan2 dan udang pun bisa terlihat ketika melintas. Hanya dedaunan yang terlihat mengotori sungai, terkadang kotoran manusia pun nampak di beberapa aliran sungai kecil tertentu yang digunakan warga khusus untuk membuang hajat.
  Desa kami dilewati oleh aliran sungai yang berasal pegunungan Welirang yang mengalir hingga ke anak sungai brantas. Penjajah Belanda membangun dam / bendungan sebagai sarana irigasi di hampir di setiap desa yang dilalui sungai ini. bendungan inilah yang menciptakan curah atau jurang yang terdapat aliran air di dasarnya. Jika kemarau, air di curah menjadi sangat jernih karena munculnya sumber2 mata air yang ada di bawah bendungan. Di sekitar mata air inilah yang dijadikan sebagai tempat mandi atau kami menyebutnya 'patusan' waktu itu. Mandi pagi sebelum berangkat sekolah menjadi ritual keseharian. Sepulang sekolah pun, anak2 seusiaku hampir selalu berkumpul di curah untuk mandi siang. Acara mandi siang inilah menjadi ajang bermain yang sangat menyenangkan. Salah satu dari kami biasa membawa korek api dari rumah. Sambil mandi, kami mencari pakung (udang sungai) di balik batu kerikil, pecahan genting serta dedaunan di dalam air. Karena jernihnya air dan banyaknya udang yang ada, kami selalu mudah mendapatkan udang untuk dibakar dengan menggunakan dedauan bambu yang mengering. Selain itu, hanya udang besar yang bersupit panjang lah yang kami tangkap. Jika mandi dengan cara berendam di dekat mata air, akan terlihat rombongan ikan wader berenang di sekitar kami, bahkan jika kami duduk dengan tenang, seringkali mereka datang dan menggigiti kulit kaki kami. Selepas musim hujan, ikan lele dengan mudah dijumpai di parit2 kecil. hanya bermodalkan tong dan ember kecil anak-anak seusiaku bisa mendapatkan lele, wader, atau tuntung (jenis gabus kecil yang ada di parit2) dengan cara menguras genangan2 air di parit atau di tula'an (hulu aliran air di setiap pematang sawah). Dan di malam hari, bersama orang dewasa aku terkadang ikut mencari belut di sawah yang baru ditanami padi dengan penerangan lampu petromak. Dalam kegiatan ini, sudah menjadi hal yang lumrah ketika menjumpai berbagai jenis ular baik di sungai maupun di pematang sawah.
  Masih banyak hal lain dari kehidupan alam sekitar yang sering dijumpai di desaku semasa itu. Di pagi hari, seringkali terlihat tupai yang berlompatan di antara dahan pepohonan setelah menghabiskan buah nangka di kebun belakang rumah. Juga munculnya kupu2 gajah yang selalu muncul di awal musim hujan, terbang naik-turun di kerendahan seperti layang-layang yang tak dapat angin.Bahkan di masa itu, masih terdapat keluarga kucing hutan yang berlarian di atanra barisan pohon tebu di sawah yang berada di batas luar desa.

Generasi Pemusnah
  Kebiasaan berburu mungkin adalah hal yang primitif namun terus berlanjut dari masa ke masa, khususnya bagi kaum laki-laki. Upaya untuk bertahan hidup di jaman purba hingga sensasi saat menaklukan sekaligus mendapatkan sesuatu yang bersifat liar adalah bentuk transformasi dari tujuan kegiatan berburu.
Seperti halnya kebiasaan anak-anak yang berusia 10-12 tahun kala itu, kegiatan bermain pun mulai didominasi oleh aktifitas yang bersifat perburuan. Diawali dengan meniru anak-anak yang lebih besar, kemana-mana selalu membawa ketapel. Buruan utama kami adalah burung, segala jenis burung yang terlihat akan rame-rame dijadikan sasaran ketapel kami. Hampir setiap hari ada satu-dua ekor burung yang mati oleh setiap kelompok anak yang berburu di kebun-kebun, barongan (deretan rumpun bambu), atau di sepanjang jalan yang ditumbuhi pohon-pohon besar di sampingnya. Dan bukan hanya burung saja yang menjadi korban ketapel anak-anak, segala macam hewan-hewan liar yang dijumpai pun akan menjadi sasaran perburuan yang menyenangkan. Bukan untuk apa-apa tujuan perburuan anak-anak waktu itu, cuma sebagai kegiatan bermain dan adu ketangkasan sesama teman belaka. Karena guru mengaji kami pun telah mengajari untuk tidak memakan daging hewan yang mati bukan disembelih. Juga hewan yang terkena batu ketapel pun akan mati perlahan jika dipelihara.
  Masuknya senapan angin yang mulai dimiliki oleh beberapa orang dewasa di dusun kami semakin meramaikan kebiasaan berburu. Di masa itu, aku pun akhirnya sempat mencoba membidik menggunakan senapan angin itu, meskipun seingatanku tak pernah ada hewan yang berhasil aku jatuhkan. Semakin hari semakin banyak saja anak-anak atau orang dewasa yang pulang dari berburu dengan membawa beberapa burung atau hewan mati di tentengan tangan mereka. Kegiatan berburu bukan hanya menggunakan ketapel atau senjata angin. Untuk mendapatkan binatang buruan dalam keadaan hidup untuk tujuan dipelihara, kami biasa menggunakan jebakan baik berupa perangkap di tanah maupun menggunakan pulut perekat yang dililitkan di ranting2 yang biasa dihinggapi oleh burung. Suatu hari, logikaku pun mengatakan, jika satu saja burung yang mati di tangan kami, jika di adalah seekor induk yang sedang mencari makan buat anak-anaknya, sebenarnya kami telah membunuh satu keluarga burung tersebut. Bisa dibayangkan berapa banyak burung di sekitar desaku yang mati setiap hari oleh perburuan kami.
  Aktifitas perburuan sebenarnya bukan hanya telah membunuhi burung serta hewan-hewan liar di darat. Ikan-ikan dan udang di sungai-sungai pun tak luput menjadi terancam oleh anak-anak dan orang-orang dewasa. Jika sebelumnya anak-anak seusiaku hanya menggunakan ember dan tong untuk menguras, terkadang juga menggunakan kail berumpan cacing untuk mencari ikan, hal ini kemudian tergantikan dengan cara yang lebih instan dan lebih mudah menggunakan potasium atau kami menyebutnya 'sangkali' untuk mendapatkan ikan dalam jumlah yang lebih banyak. Dengan semakin mudahnya mendapatkan bahan kimia ini di beberapa toko di desa kami, semakin sering orang dewasa dan anak-anak mencari ikan di sungai-sungai. Ketika hujan besar, air di dam meluap dan mengaliri sungai-sungai kecil yang juga membawa serta ikan-ikan turun ke sungai kecil tersebut. Ketika air sungai kembali surut, di saat inilah kami biasa mencari ikan yang telah terbawa aliran air dengan menggunakan potasium. Cukup melarutkan beberapa butir bahan kimia tersebut ke dalam air dan diikuti dengan menggoyang-goyangkan airnya, tak lama kemudian ikan-ikan dan udang akan mabuk dan muncul ke permukaan. Dengan demikian, ikan dan udang mulai dari yang paling kecil hingga yang berukuran besar akan mudah ditangkap dengan tangan atau kalo, sejenis wadah sayur yang berlubang-lubang. Karena terlalu sering dipotasium, beberapa tahun kemudian mulai terasa berkurangnya ikan-ikan yang ada di sungai. Bukan cuma itu, potasium juga mengakibatkan tebing bibir sungai menjadi rapuh sehingga mudah runtuh. Akibatnya banyak lubang atau liang-liang di sungai yang selama ini menjadi sarang ikan untuk bertelur menjadi rusak. Bahkan potasium pun membunuh janin ikan yang masih dalam bentuk telur.
  Bersama dengan maraknya penggunaan potasium, fenomena bahan kimia lain pun mulai muncul. Bermula dari cerita seorang petani dari desa tetangga yang mencuci tabung penyemprot yang masih berisi Tiodan di sungai setelah dignakan untuk membasmi belalang di sawah, ternyata tak lama kemudian bermunculan udang-udang yang mabuk dan mati ke permukaan air di sepanjang aliran sungai di bawahnya. Sejak saat itulah tiodan digunakan oleh orang-orang untuk mencari udang di sungai atau parit-parit. Penggunaan potasium dan tiodan seolah menjadi senjata pemusnah masal bagi ikan dan udang di sungai-sungai. Akibatnya ketika aku beranjak remaja, ikan dan udang pun jarang sekali dijumpai di sungai dan parit yang ada di sekitar desaku. Hingga akhirnya orang-orang di desaku harus mencari ikan dan udang ke sungai-sungai yang berada jauh di luar desaku dengan menggunakan potasium atau tiodan, karena ternyata masyarakat di luar desaku tidak banyak yang mencari ikan menggunakan bahan-bahan kimia tersebut.

Kondisi Desaku Saat Ini
  Pemandangan desa tempat aku dilahirkan kini telah jauh berubah. Rumah-rumah penduduk tak lagi terbatas di dusun yang dulu terpagari oleh deretan rumpun bambu, kini bangunan rumah telah menyebar ke areal yang dulu adalah sawah dan tegalan. Rumah-rumah penduduk telah menyatu antar dusun. Beberapa pabrik telah berdiri mengeluarkan suara menderu, menambah bising di antara desingan suara motor dan mobil-mobil besar yang melintas. sebagian pabrik pun sedang dibangun di areal yang dulu menjadi tempat bermain kami. Sebuah kompleks perumahan telah berdiri dan dipenuhi oleh penghuninya, dulunya tempat itu salah satu lokasi di mana kami sering mengejar gemek di kala hujan. Jalanan aspal pun telah menyebar hingga ke lorong-lorong kampung, membelah kebun-kebun yang dulu kami jadikan tempat bermain di siang hari. Jika malam, semua terlihat terang benderang, namun tak terlihat anak-anak kecil yang terlihat bermain di jalanan atau sekedar berkumpul di halaman-halaman rumah, layaknya yang dulu biasa kami lakukan di malam hari. Hanya beberapa kumpulan anak-anak remaja dengan motornya yang nongkrong di pinggir jalan raya.
  Tak ada lagi nyanyian burung2 di pagi hari, dan tak ada lagi lengkingan dari ribuan manyar yang pulang ke sarangnya di sore hari. Pun tak pernah terlihat lagi aneka rupa jenis burung yang terbang di pohon-pohon. Hanya burung gereja saja yang nampak semakin akrab dengan manusia, terbang mencari makan dan bermain di antara rumah penduduk.
  Sungai-sungai terlihat kotor dan berair dangkal. Berbagai sampah plastik pembungkus dan kaleng-kaleng terlihat ikut mengalir bersama kotoran dari peternakan bebek hingga ke sawah-sawah yang masih tersisa. Tak pernah terlihat wader atau udang-udang di sungai-sungai. yang ada hanya ikan gatul (ikan kecil yang tak dikonsumsi oleh warga) dan terkadang juga ikan sepat yang dulu tak pernah ada di sungai-sungai ini, berenang di antara sampah dan sumpil (sejenis siput kecil dengan rumah cangkang panjang berwarna hitam).
  Kasihan kalian anak-anak di desaku jaman sekarang. Kalian tak bisa lagi melihat burung-burung yang pernah hidup bebas di desa ini, atau mandi bersama rombongan ikan dan udang yang berenang di sungai yang jernih. Aku yakin kalian tak lagi mengenal apa dan bagaimana bentuk burung manyar, srapon, srigunting, atau jalak uret. Kalian pun hanya bisa menyaksikan tupai dari gambar teve atau kebun binatang. Aku pun tak pernah lagi melihat kalian membawa ketapel, karena memang tak ada lagi burung yang bisa diburu. Kicauan burung-burung pun hanya bisa kalian nikmati dari burung yang ada di sangkar, bahkan sebagian hanya kalian dengar dari ringtone hape.
  Aku turut merasa bersalah terhadap semua ini. Akibat ulahku dan orang-orang tua kalian lah yang menyebabkan tak ada lagi nyanyian berbagai jenis burung di pepohonan, juga tak ada lagi ikan berenang bebas dan udang yang bersembunyi di balik daun dan bebatuan sungai dan parit-parit kecil di desa ini.
  Salahkanlah kami, karena generasi kami lah yang telah membuat satwa-satwa itu lenyap dari desa ini. Salahkanlah kami, karena kami generasi pemusnah. Maafkan kami, yang tak bisa lagi mewariskan keindahan harmoni alam yang dulu kami nikmati. Aku hanya bisa menuliskan apa yang pernah aku nikmati di masa kecil dulu, supaya kalian tahu bahwa dulu di desa ini pernah ada kehidupan alam yang memanjakan kami.


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Membaca cerita diatas jadi ingat masa kecilku dahulu di tahun 1980 an walaupun tidak tinggal didesa tetapi lingkungan disekitar masih banyak pohon, sawah, dan saluran irigasi yang banyak ikannya...saat itu masih banyak burung manyar yg bersarang di pohon palm, burung pentet dan kutilang yg bersarang di pohon cemara, burung pipit yg bersarang di pohon mangga...akan tetapi saat ini sudah jarang ditemukan lagi burung2 tersebut karena pohon tempat bersarang sdh tidak ada lagi, sawah sdh berubah jadi rumah, saluran irigasi sdh hilang menjadi jalan...alamku yang dulu telah berubah....