30 April 2008

Nasib Pendidikan di Pedalaman

Kondisi Pendidikan di Indonesia Yang Masih Timpang

Melihat kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, sulit untuk membuat gambaran umum untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya. Saat ini masyarakat sedang ramai-ramainya membicarakan Ujian Nasional (UN) yang sedang berlangsung. Terdapat dua pendapat umum, yakni masyarakat yang mendukung dengan alasan untuk meningkatkan standar pendidikan nasional, dan masyarakat yang menolak dengan alasan ketidaksiapan dan kekhawatiran dari para murid, orang tua, serta guru sendiri.
Sebenarnya yang perlu dilihat adalah sampai sejauh mana peran pemerintah dan masyarakat dalam menyediakan pendidikan yang berkualitas kepada semua warga negara. Jika sekilas kita melihatnya pada sekolah-sekolah unggulan yang ada di kota, mungkin kita bisa berbangga dengan kondisi pendidikan kita saat ini. Apalagi jika yang kita lihat adalah sekolah-sekolah elite seperti Pelita Harapan, Al Azhar, atau BPK Penabur. Sekolah-sekolah tersebut sudah sangat mapan dalam hal fasilitas dan kualitas. Para murid dan guru dari sekolah sekolah elit selalu dimanja dengan fasilitas pendidikan yang lengkap dan mutakhir. Segala proses pembelajaran dijalankan dengan nyaman dan mudah sehingga dapat menghasilkan keluaran yang berkualitas. Namun perlu dianalisa lebih jauh, seberapa besar persentase anak negeri ini yang bisa mendapat pendidikan berkualitas seperti di atas.

Tak banyak yang mengetahui atau peduli dengan nasib pendidikan di wilayah-wilayah pedalaman Nusantara. Banyak anak di pedalaman Nusantara yang bernasib malang karena tak dapat memperoleh pendidikan yang bermutu.

Melihat kondisi pendidikan di wilayah pedalaman NTT

Di beberapa perkampungan atau dusun di pedalaman NTT, anak-anak harus berjalan kaki 1-2 jam sejauh hingga 6 Km melintasi hutan dan menuruni bukit untuk mendapatkan pendidikan di sekolah setiap hari. Pengorbanan anak-anak tersebut terkadang sia-sia karena ketika sampai di sekolah, tak ada guru yang siap mengajar. Tak jarang setelah berlelah-lelah berjalan kaki dari rumah tanpa sarapan pagi, si anak harus kena marah atau bahkan hukuman fisik dari guru karena terlambat masuk kelas. Dan akibatnya si anak enggan ke sekolah keesokan harinya dan kemudian dia memilih untuk tidak ke sekolah sama sekali selamanya. Potret umum siswa di pedalaman memang sangat memprihatinkan, murid2 ke sekolah hanya membawa 1-2 buku tulis dan 1 bulpen/pensil yang disimpan dalam tas kresek, bersandal jepit atau malah telanjang kaki.
Tidak terbiasa berbicara pada orang dewasa, pemalu dan tidak percaya diri.

Nasib para guru di pedalaman pun tak kalah memprihatinkan, terutama para guru honorer yang kebanyakan honor komite. Para guru tersebut banyak yang harus mengajar 2-3 kelas sekaligus. Hal ini karena kekurangan tenaga guru di sekolah pedalaman. Guru yang hanya bergaji 100-300 ribu sebulan itu banyak yang dipaksa bekerja ekstra keras bahkan terdapat ‘tuntutan psikologis’ untuk bekerja lebih besar daripada guru PNS karena status tidak tetap sebagai guru honorer lebih rentan daripada guru berstatus PNS yang meskipun sebulan tak mengajar di sekolah pun masih akan tetap menerima gaji. Di beberapa sekolah yang penulis temui baik di wilayah Sikka maupun di Kabupaten Kupang, hanya ada 1 atau 2 guru PNS termasuk kepala sekolah di satu sekolah. Dan khusus untuk Kabupaten Kupang, biasanya salah satu guru PNS tersebut akan ditugaskan sebagai guru bendahara gaji yang harus mengurus gaji di ibu kota Kabupaten setiap bulan. Sehingga praktis yang bersangkutan dibebastugaskan dari KBM di kelas. Dengan kondisi demikian, apakah masih mungkin jika menuntut setiap guru, termasuk para guru honorer untuk menyediakan pendidikan yang berkualitas bagi siswanya? Apakah manusiawi jka kita memaksa semua guru tersebut untuk mempersiapkan syllabus dan RPP dengan baik, sedangkan mereka pun harus melakukan pekerjaan lain untuk dapat bertahan hidup di desa.

Sebuah sekolah SLTP terbuka di Desa Nunsaen di Kabupaten Kupang, meskipun jumlah murid cukup lumayan, namun hingga kini mereka hanya diajar oleh guru2 SD. Bukan guru SLTP. Dan yang lebih memprihatinkan adalah para murid tersebut harus belajar bahasa inggris tanpa ada guru Bahasa Inggris, hanya melalui buku karena tak ada guru yang bisa berbahasa inggris. Para murid menjadi kebingungan ketika ada bule datang berkunjung mengajak conversation.....
Entah bagaimana nantinya jika para murid tersebut harus memenuhi standar kelulusan UN untuk materi Bahasa Inggris.. dan kemudian jika nantinya mereka tidak lulus, maka pemerintah akan berdalih bahwa kesalahan ada pada murid yang tidak belajar dan mempersiapkan diri, atau pada sekolah yang tidak becus mempersiapkan muridnya dalam UN alih-alih melihat faktor penyebabnya secara nyata. Pemerintah hanya bisa menuntut murid dan semua sekolah untuk memenuhi standar yang ditetapkan tanpa memenuhi tanggungjawabnya untuk menyediakan pendidikan yang berkualitas, termasuk menyediakan tenaga guru yang berkualitas secara merata.

Korelasi Pendidikan dan Kemiskinan Saat Ini

Jika menilik pada teori korelasi investasi pendidikan dengan tingkat kesejahteraan, di mana setiap tingkat investasi pada pendidikan akan menaikkan beberapa tingkat kesejahteraan. Maka bisa dimaklumi jika kesenjangan antara keluarga miskin dan keluarga kaya akan tetap lebar, bahkan semakin melebar.
Semakin tinggi kualitas pendidikan, semakin besar peluang mengakses jalan kesuksesan hidup. Imej pendidikan berkualitas biasanya dihasilkan dari sekolah/universitas bonafid (ternama). Semakin bonafid, maka semakin mahal biaya pendidikannya, semakin jelas siapa yang bisa mengakses pendidikan berkualitas tersebut, hanya anak2 dari keluarga kaya. Dan saat ini banyak lowongan pekerjaan elite yang hanya mau menerima lulusan dari sekolah/universitas yang sudah ternama tersebut.

Jika benar bahwa pendidikan yang berkualitas memberi peluang yang lebih besar untuk meraih kesuksesan hidup/ lebih mudah mendapat pekerjaan2 dengan penghasilan tinggi... maka... lebih jelas bahwa ternyata sistem pendidikan dan fenomena pendidikan akan terus melestarikan tradisi menjadi kaya bagi si kaya dan juga tradisi miskin bagi si miskin... maka bersyukurlah bagi mereka yang dilahirkan di kota dari keluarga kaya yang bisa mengakses pendidikan berkualitas dengan mudah, karena hal itu merupakan salah satu jaminan bahwa masa depan cerah, dan kasihan bagi mereka yang miskin di pedalaman yang tak pernah bisa mengakses pendidikan berkualitas dan bersiap untuk tetap menjadi miskin.

7 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan artikel di blog Anda bagus-bagus. Agar lebih bermanfaat lagi, Anda bisa lebih mempromosikan dan mempopulerkan artikel Anda di infoGue.com ke semua pembaca di seluruh Indonesia. Salam Blogger!
http://www.infogue.com/
http://pendidikan.infogue.com/nasib_pendidikan_di_pedalaman

toni ahmad mengatakan...

Thanks atas info sarannya...

Anonim mengatakan...

kasian banget ya sodara2 kita yang di pedalaman.... turut prihatin de

Anonim mengatakan...

Permisi mas.....
Saya baca tulisannya tampaknya anda punya banyak info tentang sekolah2 pedalaman yg membutuhkan guru sukarelawan.
Mas saya bisa minta tolong untuk informasi sekolah2nya nggak? Lokasi dan keadaan sekolahnya bagaimana dan info2 lain yg bersangkutan.
Saya berniat dan bersedia untuk menjadi pengajar tanpa digaji sama sekali.
Terima kasih banyak ya Mas....
Bisa menghubungi saya di bags.maniac@yahoo.com.

Anonim mengatakan...

melihat kondisi di pedalaman, sya jadi pengen mengabdikan diri menjadi tenanga pengajar disana. bisa minta info untuk lebih jelas nya , trm kasih
= hestie =
butterflies_minded@yahoo.com

toni ahmad mengatakan...

trims atas komentarnya, dan salut atas kesediaanya untuk jadi guru sukarelawan, akan saya beri info lanjutannya yaa...

Darlin mengatakan...

aku juga kepengen mengabdikan diri sebagai di daerah pedalaman, kasih info secepatnya ya!
allink.wadjo@gmail.com